Menyediakan Artikel Tentang Pendidikan dan Pengetahuan Lainnya

Jumat, 18 Maret 2016

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Cuaca dan Iklim di Indonesia

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Cuaca dan Iklim di Indonesia

Iklim adalah sebuah sistem yang sangat kompleks, sistem yang saling berinteraksi antara atmosfer, permukaan tanah, salju, es, samudra, sungai, dan makhluk hidup. Atmosfer adalah komponen sistem iklim yang terbesar, sistem iklim selalu berubah setiap waktu di bawah pengaruh dinamika internalnya sendiri dan juga karena perubahan faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi iklim. Gangguan eksternal meliputi fenomena alam seperti letusan gunung berapi, variasi radiasi matahari, serta manusia yang menyebabkan perubahan dalam komposisi atmosfer.



2.4.1 Sirkulasi Atmosfer

Energi yang diperoleh dari matahari dan dorongan dari permukaan bumi, maka atmosfer bergerak dan terbentuk pola aliran tertentu yang disebut peredaran atmosfer. Daerah tropik menerima lebih banyak pancaran matahari sehingga dari daerah tropik menjadi daerah tekanan rendah, sedangkan daerah yang kurang menerima pancaran matahari menjadi daerah tekanan tinggi. Perbedaan tekanan antara daerah tersebut mendorong udara di daerah tekanan tinggi menuju daerah tekanan rendah.



2.4.2 El Nino dan La Nina

El Nino merupakan fenomena global dari sistem interaksi lautan atmosfer yang ditandai memanasnya suhu muka laut di Ekuator Pasifik Timur Nino3 (lihat Gambar 2.4), atau anomali suhu muka laut di daerah tersebut positif (lebih panas dari rata-ratanya). Fenomena El Nino secara umum menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang. Namun demikian, karena luasnya wilayah Indonesia, tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino.





























Gambar 2.3. Sirkulasi Walker saat El Nino dan La Nina (Trenbert, 1996)



Sedangkan La Nina merupakan kebalikan dari El Nino ditandai dengan anomali suhu muka laut negatif (lebih dingin dari rata-ratanya) di ekuator pasifik tengah (Nino3.4). Fenomena La Nina secara umum menyebabkan curah hujan di Indonesia meningkat. Demikian halnya El Nino, dampak La Nina tidak berpengaruh ke seluruh wilayah Indonesia. Indikasi lain yang digunakan dalam memprediksi terjadinya El Nino dan La Nina adalah menggunakan data Soutern Oscillation Indeks (SOI) yang mengindikasikan terjadinya perubahan pola pergerakan sirkulasi Walker dari Tahiti ke Darwin dan sebaliknya.













Gambar 2.4. Pembagian wilayah Nino (Trenbert, 1996)



2.4.3 Sirkulasi Monsun Asia – Australia

Sirkulasi angin di Indonesia ditentukan oleh pola perbedaan tekanan udara di Australia dan Asia. Pola tekanan udara ini mengikuti pola peredaran matahari dalam setahun yang mengakibatkan sirkulasi angin di Indonesia umumnya adalah pola monsun, yaitu sirkulasi angin yang mengalami perubahan arah setiap setengah tahun sekali. Pola angin baratan terjadi karena adanya tekanan tinggi di Asia yang berkaitan dengan berlangsungnya musim hujan di Indonesia. Pola angin timuran/tenggara terjadi karena adanya tekanan tinggi di Australia yang berkaitan dengan berlangsungnya musim kemarau di Indonesia.















Gambar 2.5. Sirkulasi Monsun Asia Australia (Sosrodarsono, 1985)

Periode aktifnya monsun di wilayah Indonesia :

· Periode Oktober–Februari bertiup angin baratan umumnya terjadi musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia

· Periode Maret masa transisi (Pancaroba)

· Periode April–Agustus bertiup angin timuran umumnya terjadi musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia

· Periode September masa transisi (Sosrodarsono, 1985).



2.4.4 Osilasi Madden Julian (MJO)

Osilasi Madden Julian mengindikasikan osilasi aktivitas pertumbuhan awan-awan sepanjang jalur dimulai dari atas perairan Afrika Timur hingga perairan Pasifik bagian barat (utara Papua). Periode osilasinya relatif pendek, sekitar 30-50 hari. Bisa didefinisikan juga penambahan kumpulan uap air yang mensuplai dalam pembentukan hujan. Osilasi Madden Julian merupakan fenomena gangguan cuaca yang cukup penting untuk daerah tropis, pertama kali ditemukan oleh Madden dan Julian pada tahun 1971/1972, dimana ciri-ciri dari Osilasi Madden Julian dengan arah gerakan yang selalu diawali dari perairan tropis Samudera Hindia, yang bergerak ke arah Samudera Pasifik di bagian timur. Osilasi Madden Julian secara spesifik dapat diamati dari pola gerakan dengan aktifitas konvektif maksimum, yang merupakan daerah pertumbuhan awan Comulonimbus (Cb).



2.4.5 Dipole Mode Indeks

Indonesia dikenal sebagai satu kawasan benua maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh lautan dan diapit oleh dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Oleh karena itu elemen (unsur) iklimnya terutama curah hujan memungkinkan dipengaruhi oleh keadaan suhu permukaan laut (SPL) di sekitarnya. Salah satu fenomena yang dicirikan oleh adanya suatu perubahan SPL yang kemudian mempengaruhi curah hujan di Indonesia adalah fenomena yang terjadi di Samudera Hindia yang dikenal dengan istilah Dipole Mode (DM) yang tidak lain merupakan fenomena hubungan antara atmosfer dan laut yang ditandai dengan perbedaan anomali dua kutub suhu permukaan laut di Samudera Hindia bagian timur (perairan Indonesia di sekitar Sumatera dan Jawa) dan Samudera Hindia bagian tengah sampai barat (perairan pantai timur benua Afrika). Pada saat anomali SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada di bagian timurnya, maka terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat. Sedangkan di Indonesia mengalami penurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan kekeringan, kejadian ini biasa dikenal dengan istilah Dipole Mode Positif (DM +). Fenomena yang berlawanan dengan kondisi ini dikenal sebagai Dipole Mode Negatif (DM -) (Hermawan, 2007).

























a) Dipole Mode positif b) Dipole Mode negative



Gambar 2.6. Fenomena Dipole Mode (Holiludin, 2007)



Fenomena Dipole Mode Samudera Hindia didefinisikan sebagai perbedaan anomali suhu permukaan air laut (SPL) antara bagian Barat (500BT – 700BT , 100LS – 100LU) dan perairan timur Samudera Hindia (900BT – 1100BT, 100LS – 00LU) seperti terlihat pada Gambar 2.2. Gambar tersebut terlihat adanya dua kutub pusat tekanan rendah, satu terletak di pantai timur benua Afrika dan lainnya di pantai barat Sumatera (Holiludin, 2009).

Fenomena Dipole Mode Samudera Hindia positif (DM +) terjadi saat wilayah pantai Barat Indonesia bertekanan tinggi, sementara sebelah Timur pantai benua Afrika bertekanan rendah sehingga terjadi aliran udara dari bagian Barat Indonesia ke bagian Timur Afrika yang mengakibatkan pembentukkan awan-awan konvektif di wilayah Afrika dan menghasilkan curah hujan di atas normal. Sebaliknya, di wilayah Barat Indonesia terjadi kekeringan setelah massa uap airnya gagal diturunkan sebagai hujan. Sebaliknya, pada saat Dipole Mode negatif (DM -), wilayah Barat Indonesia mengalami surplus curah hujan dan wilayah timur Afrika mengalami kekeringan. Hal ini terjadi berdasarkan asumsi bahwa tingginya tekanan di wilayah afrika bagian timur dan tekanan rendah di bagian barat Indonesia menyebabkan terjadinya pergerakan awan konvektif yang dibentuk di daerah Samudera Hindia dari wilayah Afrika ke wilayah Indonesia sehingga mengakibatkan tingginya curah hujan di wilayah Indonesia khususnya Indonesia bagian barat. Di sini terlihat adanya keterkaitan antara fenomena Dipole Mode dengan perilaku curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat.

Dampak fenomena Dipole Mode (DM) terutama dirasakan oleh negara-negara yang terletak di pinggir Samudera Hindia. Selama berlangsungnya DM positif, terdapat dua pola cuaca. Pola yang pertama adalah meningkatnya suhu di atas daratan dan curah hujan di tepi barat Samudera Hindia sedangkan di tepi timur terjadi hal yang sebaliknya. Pola kedua adalah ditemukannya peningkatan curah hujan di daerah monsun Asia, dari Pakistan hingga Cina Selatan. Pengaruh DM juga dirasakan di negara-negara yang jauh dari Samudera Hindia. DM positif mempunyai korelasi terhadap anomali suhu permukaan daratan Asia yang lebih hangat dan curah hujan yang menurun di Eropa, Asia Timur, Afrika Selatan dan Amerika (Holiludin, 2009).

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Cuaca dan Iklim di Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar